Natsu no Banashi part 3
Hari
berlalu sangat lama bagi Keito rasanya tak sabar untuk kembali ke rumah. Tiap
hari, bangun paling pagi untuk menyiapkan sarapan, jika Ryosuke dan
kawan-kawannya hendak bermain di pantai Keito bertugas membawa barang bawaan
mereka. Dan seperti biasa jika Keito melakukan suatu kesalahan mereka tak
segan-segan memukulinya.
Dibasuhnya
wajahnya dengan air segar dari wastafel. Membereskan semua tugas yang Ryosuke
berikan padanya ketika yang lain masih terlelap membuatnya mengantuk. Setelah
mengeringkan wajahnya dengan handuk, Keito mengambil plester. Lalu menutupi
luka sobek di pipinya, warna kulit disekitarnya terlihat biru. Kantung matanya
terlihat hitam karna tak bisa tidur nyenyak. Namun hari ini Keito bisa sedikit
santai Ryosuke hari ini pergi kerumah kawannya sampai sore. Ia bisa
beristirahat sejenak, namun ia harus tetap menyiapkan makan malam. Hari ini
Keito memutuskan pergi berkunjung ke kuil diatas bukit tak jauh dari sini. Biasanya
setelah berdoa dikuil perasaannya membaik. Setelah menelan beberapa pil obat
yang ia bawa, Keito bergegas menuju kuil.
Berbanding
terbalik dengan teriknya matahari di vila dan juga pantai. Daerah sekitar kuil
terasa rindang. Rimbunnya pohonnya membuat cahaya matahari tak mampu menembus
dedaunan. Keito berjalan pelan sambil menyeret kakinya yang masih sakit. Angin
yang berhembus membuat dedaunan bergoyang menyambut Keito. Senyumnya mengembang
tipis menikmati keramahan alam. Setelah memasuki gerbang kuil, Keito langsung
bergegas menuju tempat berdoa. Tergantung lonceng besar dihadapannya.
Ditariknya tambang berwarna putih itu dan membuat lonceng berbunyi, ia lalu memasukan
beberapa koin uang Keito mengatupkan kedua tangannya 2 kali lalu berdoa. Berdoa
untuk Ibu dan Ayahnya, dan juga berdoa diberi kesabaran menghadapi hidupnya. Selesai berdoa ia merasa perasaannya membaik. Ketika
hendak kembali ke vila. Seorang gadis Miko dengan baju putih merahnya menarik
perhatiannya. Ia sedang sibuk menata omamori dan ema dimeja.
“permisi”
sapa Keito.
“ah
selamat datang” sambutnya hangat.
“aku
ingin membeli ema”
“ah
silahkan” gadis itu lalu menyodorkan sekeranjang balok kayu berbentuk segi lima
itu. Keito lalu mengambil ema dengan gambar kuda putih. Putih berarti harapan,
Keito percaya itu. Ia menuliskan harapannya di sisi lain ema tersebut. Setelah
selesai ia segera menggantungkannya di tempat untuk menggantungkan ema tak jauh
dari situ.
“arigatou
gozaimasu”. Ucap Keito berterimakasih sambil membayar 700 yen untuk biaya ema.
“Semoga
harapanmu segera terkabul ya”. Keito mengangguk sambil tersenyum.
“aa,
sepertinya kau sedikit tidak sehat. Ini permen dari kuil ini, terbuat dari
berbagai tanaman obat bisa membuat lukamu cepat sembuh”. Terang gadis ini
sambil memberikan beberapa bungkus permen. Warnanya coklat dibungkus dengan
plastik transparan, kedua sisinya digulung rapat. Penasaran Keito buru-buru
membuka plastiknya dan melahapnya. Wajahnya mengkerut ketika permen itu meleleh
dimulutnya. Sang gadis miko yang melihatnya diam-diam tersenyum melihat
ekspresi Keito. Ya, namanya juga obat tradisional yang dibuat menjadi permen.
Sambil terus menahan sensasi di mulutnya Keito pamit pulang.
Deretan
kursi untuk berjemur membuat Keito ingin sejenak beristirahat. Perutnya terasa
mual namun ia tak ingin memuntahkan isi perutnya. Sejenak terlelap di temani
suara ombak dan dibuai angin sepertinya bukan ide buruk, pikir Keito. Toh
matahari baru berada di puncak, iya yakin bisa menyiapkan makan malam sebelum
senja tiba.
Waktu
tak terasa cepat berlalu, matahari nyaris hilang di ufuk barat. Pantai yang
sedari tadi ramai oleh pengunjung pun mulai sepi. Keito masih terlelap dalam
tidurnya, mungkin tubuhnya terlalu lelah dan ingin berisatirahat. Atau mungkin
efek permen yang ia makan tadi membuat tubuhnya terlalu nyaman untuk
beristirahat. Nampak dari jauh Ryosuke datang bersama kedua kawannya. Raut
wajah mereka terlihat kesal. Entah apa yang akan terjadi pada pria yang masih
terlelap ini.
byurrr
Takaki
menyiram tubuh Keito dengan seember air. Dengan wajah kaget Keito terjaga.
Ketiganya masih menatap pria itu sengit. Cahaya matahari kini sepenuhnya
hilang, berganti menjadi langit gelap yang sedikit mendung. Hanya cahaya samar
dari lampu sekitar pantai, namun Keito
bisa melihat wajah masam ketiganya dengan sangat jelas. Tanpa aba-aba Ryosuke
langsung mendorongnya kuat sehingga ia jatuh kepasir.
“HEY!
KAU TAHU JAM BERAPA INI?!”. Tangan kekar Ryosuke meremas kerah baju Keito
kasar, lalu meninju pipi kirinya.
“gomen”
sesal Keito. Merasa kesal Ryosuke membanting tubuh Keito kasar membiarkan kedua
temannya menendang pria itu tanpa ampun.
“ahh
. . . jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?!”
“memasak
untuk kalian”. Jawaban yang simpel, karena memang hanya hal itu yang terlintas
dipikiran Keito. Mendengar jawaban itu Ryosuke menatap Keito malas. Pantulan
cahaya remang lampu dari kalung Keito sedikit menarik hatinya.
“Tak
perlu! aku hanya ingin benda itu!” tunjuk Ryosuke pada benda yang menggantung
didada keito.
“jangan!
ini hadiah terakhir dari ibu!” Keito menggenggam kalungnya erat. Ryosuke
tertawa puas, ia menemukan kelemahan pria ini.
“hahaha,
baguslah aku pasti membuatmu menderita karna itu. Melihatmu tersiksa membuatku
serang” tanpa aba-aba Hikaru langsung merebut paksa kalung Keito.
“Dame,
onegai! aku akan melakukan apapun asal jangan kalung itu!!”.
“Jya,
Shine! aku muak melihatmu”. Tak ada balasan dari Keito, ia hanya terdiam
menatap pasir. Suara deru ombak terdengar diantara keheningan itu. Sampai
akhirnya Ryosuke tak sabar lalu melemparkan benda itu ke laut.
“Apa
yang kau lakukan?!!” untuk pertama kalinya Keito marah karna perlakuan Ryosuke.
Manik matanya menatap tajam Ryosuke marah. Seolah tak mau kalah, Ryosuke balik
menatap Keito dingin.
“Shine!”
bisiknya tepat di telinga Keito.
flasbacf
off
Hari
itu Ryosuke tak pernah menyangka keesokan harinya Keito mengiris lengannya.
Setelah 3 hari dirawat dirumah sakit ia meninggal. Ryosuke belum sempat
mengucapkan maaf. ia terlalu takut bertemu Keito. Semua orang membencinya,
kawan-kawannya meninggalkannya karna tak ingin terlibat. Ayahnya sibuk menutupi
perbuatan anaknya demi karirnya. Memaksa anak laki-lakinya mengasingkan diri
jauh dari rumah. Membiarkanya hidup sendiri disebuah apartemen pinggir kota.
Harusnya Ryosuke datang menjenguk Keito dan mengembalikan kalungnya. Ryosuke
tak benar-benar membuang benda itu, ia hanya ingin melihat reaksi Keito. Namun
ternyata hasilnya melebihi ekspetasi. Benda itu masih tersimpan dengan baik di
lemari kamarnya. Sudah lama ia ingin mengembalikan benda itu pada keluarga
Keito. Tapi ia takut, apa jadinya jika penyebab meninggal anak tunggalnya
muncul?. Ryosuke terlalu ngeri membayangkan reaksi Ayah Keito nantinya.
Kedua
kaki telanjangnya terus membawanya berjalan. Jalanan pasir yang sedari tadi
berpasir berganti jalanan berbatu dengan rumput yang berembun. Ryosuke bisa
merasakan sensasi dingin menjalar dari kakinya. Tubuhnya mengigil, udara pagi
hari terlalu dingin untuknya.
Langit
gelap mulai cerah sebentar lagi fajar datang. Namun rimbunnya pepohonan yang
Ryosuke lalui membuatnya masih berada dalam kegelapan malam. Kini kedua kakinya
mulai menapaki tangga yang terbuat dari batu. Tak jauh dari sana gerbang kuil
terlihat. Gerbang itu terlihat kokoh berdiri. Ryosuke menelan ludahnya pelan
saat melewatinya, bulu kuduknya kembali berdiri. Sebenarnya apa yang di
inginkan Keito membawanya kesini.
“Ryosuke
!!!”. Suara teriakan Haruna yang memanggilnya membuatnya sedikit lega. Mendadak
kedua kakinya lemas lalu tubuhnya tersungkur ke tanah. Haruna langsung
berhambur memeluk kekasihnya.
“hosh
. . . hosh . . .” Yuto terlihat kehabisan nafas. Di belakangnya Shiori menyusul
dengan lemas. Ia langsung duduk bersender di dekat rumah kecil untuk
menggantung ema tak jauh dari yang lain. Terlihat dengan jelas ia masih
mengantuk.
“Maaf,
membuat kalian khawatir”. Haruna
menggeleng pelan. Dalam hatinya lega tak terjadi hal buruk terjadi pada
kekasihnya.
“ini
pertama kalinya aku lari sepagi ini” komentar Yuto. Ryosuke tersenyum kecut
sambil mengusap pipinya yang basah.
“ayo
naik ke punggungku kau harus beristirahat. Siang ini kita harus kembali”.
Ryosuke menurut, sebenarnya ia masih mampu untuk berjalan namun rasanya
tubuhnya lemas tak bertenaga. Tak mungkin ia merepotkan Haruna dengan
memapahnya kembali ke vila yang jaraknya cukup jauh.
“Shiori
ayo pulang!” ajak Haruna. Gadis itu masih asyik bersandar sambil iseng membaca
permohonan orang-orang di ema. Tak perduli dengan ucapan Haruna tadi, gadis itu
bangkit lalu melihat lebih dekat ema yang sedari tadi membuatnya penasaran.
“neechan,
kochi. Lihat ini” Tunjuk Shiori pada lempengan ema dengan pemohon Okamoto Keito
tertulis disana. Kedua gadis itu menatap lempengan itu tak berkedip. Yuto dan
Ryosuke yang sudah berjalan sampai di depan gerbang menatap gadis-gadis itu bingung.
tsuzuku~
0 komentar:
Posting Komentar