Yakimochi (Kecemburuan)
Hatiku terasa panas, melihat gadis yang ia cintai bersama orang lain. Oh tuhan apa yang harus kulakukan??
Yuto pov
Langit
yg semakin menghitam disertai angin kencang yg berhembus memaikan rambutkut.
Langkahku terus berjalan mengikuti Haruna. Seperti seorang stakler memang. Tapi aku tak perduli, aku ingin meminta maaf
padanya. Wajah itu, aku telah membuatnya memasang wajah sedih seperti itu. Oh
tidak apa yg telah kulakukan. Bahkan aku tak sanggup menatap wajahnya. Aku
memilih keluar kelas dan mengawasinya dari jauh. Pengecut ya aku memang
pengecut. Aku memilih kabur dibanding meminta maaf padanya. Jujur saja aku tak
sanggup melihat wajahnya. Wajah yg sama persis dengan kekasihku kadang
membuatku tersiksa. Rasanya hatiku seperti tersayat oleh pisau berkarat bila
menatapnya. Aku masih belum sanggup menerima Haruka sudah pergi.
Langkahku
terhenti di gerbang pemakaman umum ini. Darahku berdesir, dadaku terasa sesak.
Memori-memori masa lalu muncul bergantian dalam kepalaku. Oh tuhan kenapa
kepalaku sakit sekali.
“argh .
. .” kuremas rambut hitamku sambil menahan sakit.
Tiktiktik
. . .
Tetesan
air mulai membasahi tanah, membuat aroma khas muncul. Aroma nolstagia dan
ditempat yg nolstagia pula. Hujan semakin deras, rasa sakit ini masih
mengerogoti kepalaku. Memori-memori itu bergantian muncul. Setelah cukup lama
akhirnya rasa sakit itu hilang. Saat kusadar bayangan punggung gadis itu
menghilang. Haruna, ah bukan itu punggung Haruka. Aku sangat mengenalnya, jika
sedang marahan Haruka memang selalu datang kesini. Ke makan nenek tercintanya.
Ya, aku akan meminta maaf padannya ku tahu kusalah telah kasar kepadanya.
Kuputuskan
kembali mencarinya. Tak jauh langkahku melangkah, kakiku kembali sulit
digerakan. Wajahku memucat, apa yg kulakukan. Kenapa aku membiarkan kekasihku
menangis sendiri disana. Dan yg lebih menyakitkan lagi. Kenapa bukan aku yg
memayunginya dari air hujan tapi lelaki lain. Oh tuhan kenapa rasanya kaki ini
sulit sekali untuk digerakan. Harusnya aku yg disana menghiburnya.
Kini
mereka sedang berteduh hatle tak jauh dari pemakaman. Dan hal yg kulakukan
masih sama, mengawasi mereka dari jauh. Oh tuhan rasanya aku tak tahan melihat
mereka berduan seperti itu. Tak ada perlakuan mesra dari Yamada atau
sebaliknya. Tapi aku melihat Yamada menyukai gadisku ya Haruka. Dan itu tak
boleh terjadi. Hey, dia itu milikku. Tak boleh ada yg memilikinya selain aku.
Brukk
Aku
menghantamkan buku-buku tanganku ke pohon. Terasa nyeri memang, tapi ini tak
seberapa dengan nyerinya hatiku. Tak lama kemudian bus yg mereka tunggu datang.
Tapi aku heran kenapa Yamada tinggal. Ahh benar ini kesempatan untukku. Aku
berlari mendekatinya. Ia terlihat kaget melihat kehadiranku. Dengan hitungan
detik aku sudah membuatnya tersungkur ditanah.
“arghh”
erangnya kesakitan sambil memegangi hidungnya yg berdarah.
“hey!
Kau tak boleh mendekatinya?!” ucapku lantang sambil meremas kerah bajunya.
Kutatap matanya dalam-dalam membuktikan aku sedang serius.
“cemburu
ya” ucapnya sinis. Emosi semakin meluap tak karuan. Aku kembali memukul
wajahnya. Tapi tatapannya selalu seperti itu. Seakan-akan menantangku melakukan
hal lebih dari ini.
“kubunuh
kau!” ucapku lantang, kemudian kembali meninju wajahnya.
“bunuh?!
Silahkan saja, dan kau pasti akan menyesal, dihantui rasa bersalah” Ucapnya
terlihat serius. Kulepaskan kerah bajunya lalu bergegas pergi. Kupikir aku juga
tak akan melakukan hal bodoh itu. Yang ada dalam pikiranku sekarang hanya ada
Haruka aku ingin bertemu dengannya.
***
Hujan
sudah reda. Perlahan awan kehitaman itu menghilang. Menyisakan langit gelap yg
mulai berbintang. Langkahku terhenti di
depan pagar rumah keluarga Kawaguchi. Rumah yg cukup sederhana, padahal sang
kepala keluarga seorang kepala rumah sakit. Aku lalu mencoba memencet bel rumah
itu. Tak lama kemudian seseorang datang membukakannya.
“yuto-kun”
wajahnya terlihat kaget melihatku.
“aku
datang mau minta maaf, aku bawa oleh-oleh lho” ucapku sambil memperlihatkan
sekotak kue yg kubawa. Kulihat ada ia tersenyum kecil. Ia lalu mempesilahkanku
masuk. Kami duduk di ruang tamu. Secangkir teh melengkapi teman berbincang kami
malam ini. Haruka terlihat antusias saat
memotong kue lalu memindahkannya ke piringnya. Aku melihat sekeliling rumah.
Sepi, sepertinya hanya kami yg ada dirumah ini. Ayahnya pasti sedang bekerja,
sedangkan Ibunya memang sudah lama meninggal. Tapi dimana Haruna. Ia kan sangat menyukai kue yg
kubawa ini.
“Haruna
mana? Dia pasti senang makan kue ini”
Cranggg
Piring yg dipegangnya terjatuh menabrak lantai. Membuat kue itu jatuh
berhamburan. Ekspresi wajahnya berubah. Kaget bercampur sedih, itu yg bisa
kutangkap.
“haruka,
kau kenapa?”
“Pergi!!
Haruka udah mati!!” ucapnya lantang. Hatiku terbakar mendengar perkataannya.
Tanpa sadar aku melayangkan tamparan pada pipinya.
“arghh”erangnya kesakitan. Merasa bersalah aku
memeluknya supaya ia merasa lebih tenang. Tapi ternyata tidak. Ia makin
memberontak.
“Haruka
sudah mati!” Kuremas kerah bajunya erat, membuatnya sulit bernafas. Tapi aku
tak perduli, aku tak suka kata-katanya
itu. Tak ada yg bisa membuktikannya. Aku lalu membopong gadis ini menuju kamar
Haruka. Lalu meleparkannya ke kasur.
“lihat
sendiri kan, kamar ini rapi tak pernah di pakai, aku ini Haruna bukan Haruka!!”
“aku
nggak percaya!! Wajah itu. Itu wajah Haruka aku sangat mengenalnya.”
“Yuto-kun,
ini aku Haruna percayalah. Haruka sudah mati!!” ohh tidak aku benar tak suka
mendengar kata-kata itu. Rasanya ada api yg membakar hatiku. Tiap kata-kata itu
terucap. Apinya semakin besar.
Plakk
Lagi-lagi aku menamparnya. Setan telah menguasai pikirannku aku tak bisa
berpikir jernih.
“diam!
Baik, ada satu cara untuk membuktikannya.”
“memang
apa? Silahkan saja! Karna Haruka memang sudah mati!” arghhh, kata-kata itu
lagi. Jangan salahkan aku jika kau menyesal. Kau benar-benar membuatku marah.
Keremas kerah bajunya lagi, wajahnya terlihat memucat. Aku tersenyum sinis, ada
rasa puas dalam diriku. Kutarik paksa kedua sisi bajunya. Membuat
kancing-kancing itu berjatuhan ke lantai.
“Haruka
sayang maaf ya jika kali ini aku agak kasar” bisikku pelan.
Tsuzuku
~
0 komentar:
Posting Komentar